Pernahkah terbersit dalam hati Anda perasaan tidak bangga pada pasangan? Entah lantaran kurang ganteng, sosoknya kurang tinggi ataupun karena dia playboy.
Kok, bisa ya, di tengah perjalanan perkawinan tiba-tiba Anda disergap perasaan tak bangga pada pasangan? Bukankah sebelum mengambil keputusan untuk menikah, semua sudah dipikirkan masak-masak? Bahkan ada anekdot yang mengatakan, tahapan yang harus dilalui sebelum menikah adalah koleksi, seleksi, baru resepsi. Nah, setelah melalui serangkaian tahapan itu, kenapa perasaan tidak bangga baru muncul sekarang?
KENALI FAKTOR PENYEBAB
"Rasa tidak bangga yang muncul di tengah jalan ini, bisa disebabkan oleh beberapa hal," jelas Weny Savitry S. Pandia, Psi, MSi., dosen Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Jakarta. Faktor-faktor itu antara lain;
* Hanya melihat yang bagus-bagus
Sudah jamak bila sepasang kekasih hanya memperlihatkan hal-hal terbaik pada pasangannya. Baju bersih, tubuh wangi, selalu terlihat santun dan sederet kelebihan lainnya. Sedangkan untuk hal-hal buruk kalau bisa disembunyikan rapat-rapat. Tapi ada kalanya walaupun hal buruk itu sudah tercium, semuanya masih terlihat indah ketika mata sedang dibutakan cinta. Bukankah ada lagu yang syairnya mengatakan, "Tai kucing rasa coklat," untuk melukiskan indahnya cinta? Bisa jadi hal-hal yang memalukan itu sudah berjalan lama, tapi baru terlihat nyata setelah memasuki gerbang pernikahan.
* Perbedaan ekspektasi/harapan
Adanya perbedaan harapan antara suami-istri bisa juga menjadi penyebab. Misalnya suami beranggapan sekolah sampai tingkat sarjana pun sudah cukup. Sementara istrinya menganggap menyelesaikan pendidikan sampai tingkat doktoral atau setidaknya magister merupakan keharusan. Ketika si istri bisa mewujudkan harapannya sedangkan suami tetap "diam di tempat", karena harapannya memang hanya sampai di situ, maka munculah perbedaan ekspektasi yang menyebabkan munculnya rasa tidak bangga.
* Harapan untuk berubah
Kekurangan suami/istri bisa jadi sudah sama-sama disadari dari awal, tapi dalam hati masing-masing masih terselip harapan bahwa keburukan tadi akan berubah dengan berjalannya waktu. Contohnya, sebelum menikah si istri sudah tahu kalau suaminya seorang pemalas, lantas berharap, "Ah, nanti kalau sudah ada anak yang menuntut tanggung jawabnya dia pasti akan berubah, kok." Tapi setelah sekian lama ditunggu-tunggu, ternyata perubahan tersebut tak kunjung muncul. Jadilah kekecewaan tadi kemudian berkembang menjadi perasaan tidak bangga.
HAL-HAL YANG MEMBUAT TAK BANGGA
Menurut Weny, cinta yang menggebu-gebu semasa pacaran, setelah menikah akan berubah wujud menjadi tanggung jawab. Ketidakmampuan memenuhi harapan masing-masing pihak, akhirnya membuat tanggung jawab itu terasa berat. Hal-hal yang dulu nampak indah karena tertutup cinta, kini mulai nampak nyata. Bisa jadi hal itulah yang membuat seseorang tak bangga pada pasangan. Apa saja dan bagaimana cara mengatasinya? Berikut beberapa di antaranya:
* Fisik
Malu pada bentuk fisik pasangan yang memang sudah dari sono-nya seperti itu, rasanya sangat tidak adil. Semisal karena suami terlalu pendek, cacat kakinya dan sebagainya, kemudian istri merasa malu berjalan bersisian. Untuk mengatasinya, segera kembali pada komitmen awal sebelum menikah. Pertanyakan kenapa hal ini dulu tidak dipermasalahkan dan baru diungkit-ungkit sekarang? Ambil sisi positifnya, kalau dengan segala kekurangannya, suami masih bisa membahagiakan istri, hendaknya hal tersebut tetap patut disyukuri.
Ada juga perubahan bentuk fisik yang masih bisa diusahakan diubah, semisal bentuk tubuh istri yang melar setelah melahirkan. Sebagai pasangan yang sama-sama sudah dewasa, diskusikan dan jawablah dengan jujur betulkah kelangsingan tubuh istri sedemikian penting yang tak bisa "ditawar-tawar" lagi? Kalau memang keduanya sepakat hal itu penting, mau tidak mau suami-istri harus bekerja sama untuk mewujudkannya.
Yang tidak disarankan adalah memaksakan kehendak pada pasangannya. Karena tubuh suami kelewat pendek dibanding istrinya, ia wajib mengenakan sepatu bertumit tinggi supaya nampak serasi. Padahal, tandas Weny, bila ada salah satu pihak yang merasa terpaksa, berarti itu bukan penyelesaian yang baik. Berkaitan dengan masalah fisik, kedua belah pihak haruslah menyadari dengan bertambahnya umur, perubahan fisik tersebut tak bisa ditampik.
* Moral
Batasan moral memang berada di garis "abu-abu". Artinya, tidak bangga pada kualitas moral sepasang suami-istri bisa jadi berbeda dengan pasangan lainnya. Ada seorang istri yang merasa sedemikian tersiksa didera rasa malu karena suaminya terkenal sebagai playboy kambuhan, sementara tak sedikit yang justru bangga.
Sebaiknya bila hal ini jadi kendala, jangan ragu untuk bicara dari hati ke hati dengan pasangan. Apakah selentingan yang terdengar selama ini benar atau hanya gosip belaka. Kalau memang benar, segera samakan tujuan dan luruskan pandangan untuk segera kembali pada komitmen awal pernikahan. Bila sudah dianggap melenceng terlalu jauh, segera perbaiki. Jangan sungkan untuk melibatkan ahli.
Terkait dengan masalah kambuhan, kalau sedari awal sudah tahu pasangannya potensial jatuh dalam kebiasaan buruknya, semisal playboy, penjudi dan sejenisnya, sebaiknya pasangan sudah mempersiapkan mental jauh-jauh hari sebelumnya.
* Hal-hal lain
Pihak lain di luar suami-istri pun bisa menjadi penyebab rasa tidak bangga pada pasangan. Misalnya terbongkarnya kasus korupsi yang dilakukan mertua, mau tidak mau membuat istri/suami malu atau setidaknya merasa rikuh saat berjalan di muka umum bersama pasangannya yang notabene adalah anak koruptor. Untuk mengatasinya, cobalah bersikap dewasa. Apa yang dilakukan mertua jangan langsung disangkutpautkan dengan perilaku anak maupun menantu. Jangan sampai "dosa" mertua mesti ditanggung anak dan menantu yang mengganggu jalannya roda rumah tangga mereka.
MALU YANG SEHAT
Perlu dicatat, pesan Weny, tidak semua rasa tak bangga pada pasangan akan berdampak pada tidak sehatnya kehidupan perkawinan. Pada beberapa hal, ketidakbanggaan ini justru bisa memacu pasangan untuk memperbaiki diri. Contohnya adalah suami yang malu/tak bangga karena punya istri jorok hingga rumah selalu dalam keadaan berantakan. Dengan komunikasi yang baik di antara mereka disertai alasan logis, diharapkan istribersedia mengubah kebiasaan buruknya. Manfaatnya? Istri jadi resik, sementara kondisi rumah pun jadi bersih dan nyaman untuk mereka tinggali.
Marfuah Panji Astuti. Ilustrator: Pugoeh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar